Jalan Braga di Kota Bandung memiliki sejarah panjang dan sangat dikenal. Jalan ini terletak persis di jantung kota dan berhimpitan dengan Jalan Asia Afrika yang dikenal dengan Gedung Merdeka.
Braga diambil dari nama perkumpulan Tonil “Braga” yang didirikan Pieter Sijthoff pada 18 Juni 1882 di sana. Jalan pedati berlumpur “Karrenweg” ( artinya jalan pedati ) menghubungkan rumah gudang kopi ( Koffie Pakhuis ) milik Andries de Wilde dengan jalan raya pos ( Groote Postweg ). Sebelumnya, awal abad 19, jalan setapak yang bisa dilalui kuda ini menghubungkan Alun-alun, Merdeka Lio, Kampung Balubur, Coblong, Dago, Buniwangi, Maribaya dan jalan Pajajaran, yang menghubungkan Sumedanglarang dengan Wanayasa. Jalan setapak yang menyusuri sungai Cikapundung sampai ke hulu itu ( konon ) disebut jalan Wanayasa.
Saat itu, ada rencana menjadikan Bandung sebagai ibukota negara. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya berbagai bangunan penting dibuat Belanda di kota ini. Salah satu di antaranya adalah rumah pelelangan kopi (coffe per house).
Perkembangan jalan ini tak terlepas dari keberadaan sebuah toko kelontong bernama de vries. Toko ini selalu dikunjungi petani Priangan yang kaya raya (Preanger Planters). Para preanger planters tersebut membeli kebutuhan hidup sehari-hari di toko de vries.
Ramainya toko dikunjungi oleh petani keturunan Belanda ini membuat kawasan sekitarnya menjadi hidup. Berlahan tetapi pasti mulai berdiri bangunan baru di sekitarnya. Mulai dari hotel, restoran, gedung bioskop hingga bank.
Kawasan elite tidak sembarang toko dan tempat usaha lainnya yang diijinkan didirikan di Jalan Braga. Butik Au Bon Marche, contohnya, yang hanya menjual pakaian impor dari Paris. Keberadaan butik inilah yang membuat Bandung dijuluki Parisj van Java.
Kemudian ada toko jam Stocker yang hanya menjual jam buatan Swiss, toko bunga Van Doup, toko mobil pertama di Hindia Belanda Fuchs & Rents hingga penjahit August Savelco yang menjadi langganan tokoh penting dari JP. Coen hingga Bung Karno.
Braga : kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka
Di jalan Braga, yang sempat dijuluki “De meest Europeesche winkelstraat van Indie” ( kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia ) adalah toko senjata api milik C.A. Hellerman, yang pertama kali didirikan. Tahun 1894. Berjualan kereta kuda, sepeda, dan bengkel reparasi senjata. Waktu harga tanah di Braga masih murah, sehingga Hellerman membangun beberapa toko dan menjualnya pada para pengusaha Eropa. Yang terbesar dan terbilang lengkap adalah “Onderling Belang” ( OB ). OB terkenal sebagai sentra mode di Amsterdam, yang membuka cabang pertama di Surabaya. Kepala cabangnya, K. Van Doodenweerd, berspekulasi mendirikan cabang OB di Bandung. Cabang OB yang dipimpin H.J.M.Koch berhasil mendapat laba besar. Bersaing dengan toko Modemagazijn “Au Bon Marche” yang didirikan A.Makkinga tahun 1913, tenar dengan gaun2 mode Paris up to date.
Di jalan Braga, juga ada Modiste dan Kleermaker ( penjahit ) hebat. Yang terkenal waktu itu “Keller’s Mode-Magazijn. Pasutri G.J.Keller yang sudah lama di bisnis konfeksi di negeri Belanda, datang ke Indonesia, Oktober 1923. Awalnya, Keller menyewa ruangan toko firma E.W.van Loo di Jalan Braga. Baru tahun 1929, Keller bisa memiliki seluruh toko ( kini ditempati toko kacamata Kasoem, kanan Braga Permai ).
Braga, Masa Kini
Seiring dengan perjalanan waktu, kejayaan Jalan Braga lambat laun mulai me-redup. David menyebutkan perubahan drastis kawasan ini sangat terasa antara tahun 1970-1980-an. Paradigma pembangunan yang digembor-gemborkan oleh penguasa kala itu membuat kawasan Jalan Braga semakin semrawut dan rusak.
Dari sekitar 150-an bangunan yang ada, tinggal 50 persen saja yang masih berwajah asli. Sementara 25 persen lainnya telah direnovasi menurut selera modern. Yang ironis, 25 persen lainnya justru dibiarkan terbengkalai. Tercatat sekitar 25 gedung yang kini seakan tak bertuan lagi. Denyut nadi perekonomian sekarang memang masih terasa di Jalan Braga. Ada toko kue, bank, restoran, toko pakaian hingga perkantoran. Namun denyut nadi Jalan Braga jauh berbeda dibandingkan di era jayanya dulu. (alfian nur)
Tinggalkan komentar